Thursday, January 7, 2010

Antara Hati dan Lisan



Suatu hari aku berselisih dengan salah seorang yang kucintai. Kami ribut mengenai hal sepele sebenarnya, tapi dari yang sepele itu ternyata meninggalkan luka yang lumayan dalam di hati masing-masing. Kalo dipikir-pikir, kejadian itu jika diambil hikmahnya adalah karena kurangnya akhlak yang baik dalam bertutur kata dan saling menasehati serta kewara’an (kehati-hatian) dalam menjaga kehormatan saudaranya yang lain. Hal ini juga baru kusadari ketika setelah kejadian itu kutemukan (gak sengaja mbaca) artikel pada sebuah majalah yang isinya sangat menyentuh hati dan menyadarkan diri ini yang masih sangat faqir akan ilmu… Semoga artikel yang lalu aku tuliskan ini juga dapat bermanfaat buat kalian semua. Amin.

Salah Kata Salah Cinta

Biasakanlah diam, karena dapat memberimu kebeningan cinta, dan menjagamu dari akibat yang jelek, memakaikan pakaian kewibawaan padamu, dan mencukupkan bagimu bahan untuk beralasan,” kata ahli balaghah.

Rasa cinta tak kan tumbuh dengan indah tanpa dipelihara. Menjaga kata-kata yang tepat, santun, dan tak menyakitkan hati. Cinta akan terpelihara, rasa simpati akan terus tertanam dalam dada dan kebencian akan sirna. Menjaga kata-kata tentu hal yang layak untuk dilakukan, terlebih syariat Islam yang mulia mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam berkata. Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi Wasallam pernah bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba berkata-kata dengan sebuah perkataan yang diridhai Alloh tanpa ia sadari Alloh mengangkat derajatnya karena kata-katanya itu. Dan sesungguhnya seorang hamba berkata-kata dengan sebuah kata yang dimurkai Alloh tanpa ia sadari Alloh memasukkannya ke neraka Jahannam karena kata-kata tersebut.” (HR. Bukhori)

Para ulama salaf adalah teladan indah dalam berkata-kata. Tentu saja, mereka semua melakukannya dalam rangka mencontoh Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alayhi Wasallam, misalnya seorang ulama yang bernama ar Rabi’ bin Khutsaim. Kawan karibnya mengisahkan tentangnya, “Selama 20 tahun aku menemani Ar Rabi’ bin Khutsaim, aku tidak pernah mendengar ia berkata-kata yang aib.” Sebuah prestasi luar biasa dalam mengendalikan lidah.

Az Zamakhsyari bilang, “Sebaik-baik lidah adalah yang terpelihara dan sebaik-baik perkataan adalah yang tertimbang, maka berkatalah jika engkau ingin berkata dengan lebih baik daripada diam, dan hiasilah perkataanmu dengan kewibawaan dengan cara yang baik.”

Sebagian ahli hikmah menasehatkan, “Ikatlah lidahmu kecuali untuk suatu kebenaran yang ingin kau jelaskan atau kebatilan yang ingin kau tolak atau kenikmatan yang ingin kau sebutkan.”

Kata yang tidak tertimbang dengan baik, tak hanya mengakibatkan hati orang yang dicinta sakit, bahkan bias memudarkan perasaan cinta itu sendiri. Perkataan yang tak terkontrol hanya berakibat kesengsaraan. Di sisi yang lain, seorang yang dicinta bukanlah pribadi yang sempurna.

Ia hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Oleh karena itu, sikapilah kesalahannya dengan benar. Memaafkan adalah perbuatan yang terpuji dan mengundang bertambahnya rasa cinta. Lihatlah sikap para ulama dalam menyikapi kesalahan teman-teman mereka.

Ibnu Atsir bercerita tentang pribadi Sholahuddin Al Ayubi, “Beliau itu rahimahulloh lemah lembut, berakhlak baik, rendah hati, sabar dalam menghadapi apa yang tidak ia sukai, banyak melupakan kesalahan teman-temannya, mendengar dari salah satu dari mereka apa yang tidak ia suka dan tidak ia ketahui, tapi air mukanya tidak berubah sama sekali.”

Jika memaafkan dan pura-pura tidak tahu termasuk sikap terpuji, maka orang yang layak untuk dimaafkan kesalahannya adalah orang-orang yang kita kenal dengan kasih sayang. Jika kita menegur teman-teman dengan kasar pada setiap kesalahan yang muncul dari mereka, maka kita akan kehilangan semua teman kita. Dan tidak tersisa satu orang pun yang lepas dari celaan kita di muka bumi kecuali diri kita sendiri.

Tidak layak mengumbar kesalahan teman atau saudara tercinta, karena hal tersebut adalah bentuk kebodohan. Disebutkan dalam Uyunul Akhbar, “Orang yang lebih berani mengumbar aib orang ketika mereka jauh darinya adalah orang yang memiliki aib itu sendiri.”

Imam Syafi’I juga mengatakan, “Seseorang meskipun berakal dan wara’, tapi kewara’annya menyibukkannya untuk mengumbar aib orang lain maka ia layaknya orang sakit tapi ia sibuk mengurusi sakitnya orang banyak.”

Al Muhallab berpesan, “Sebaik-baik majelis adalah yang memiliki visi jauh ke depan dan banyak faedahnya.”

Menjaga kata dan memaafkan kesalahan adalah resep mujarab penumbuh rasa cinta. Buktikan saja!

Elfata Edisi 06 Volume 08 Th 2008


Semoga kita dapat menjaga lisan dan hati kita dalam menyampaikan nasehat, mengikuti teladan Rosululloh Shallallohu 'Alayhi Wasallam dan pengikutnya yang istiqomah hingga akhir hayat. Amin.

No comments:

Post a Comment