Showing posts with label Adab dan Akhlak. Show all posts
Showing posts with label Adab dan Akhlak. Show all posts

Saturday, August 1, 2009

Hikmah Larangan Bernafas Ketika Minum


Dari Tsumamah bin Abdullah, "Dahulu Anas bin Malik radhiyallahu ta'alaa anhu pernah bernafas di dalam bejana dua kali atau tiga kali, dan dia mengira Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan hal itu (HR. Bukhari, No. 5631)

Dari Abu Qatadah dan bapaknya, Rasulullah bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian minum, maka janganlah ia bernafas di bejana (gelas), dan jika salah seorang dari kalian kencing maka janganlah ia memegang dzakar (kemaluannya) dengan tangan kanannya, jika membersihkan maka jangan membersihkan dengan tangan kanannya (HR. Bukhari 5630)


Sebagian ulama mengatakan, "Larangan bernafas di dalam bejana ketika minum sama seperti larangan ketika makan dan minum, sebab hal itu bisa menyebabkan keluarnya ludah sehingga bisa mempengaruhi kebersihan air minum tersebut. Dan keadaan ini apabila dia makan dan minum dengan orang lain. Adapun bila ia makan sendirian atau bersama keluarganya atau dengan orang yang tidak terganggu dengan caramu tersebut, maka hal itu tidak mengapa." Aku ( Imam Ibn Hajar Al-Asqalani) berkata, "Dan yang lebih bagus adalah memberlakukan larangan hadits Nabi tersebut, sebab larangan itu bukan untuk menghormati orang yang layak dihormati ataupun untuk mendapat penghargaan dari orang lain.... Berkata Imam Al-Qurthubi, "Makna larangan itu adalah agar bejana dan air tersebut tidak tercemar dengan air ludah atau pun bau yang tidak sedap". Fat-hul Bari, 10/94.


Demikianlah penjelasan para ulama kita. Para pakar kontemporer pun telah berusaha mengorek hikmah atas larangan tersebut. Mereka mengatakan, "Ini adalah petunjuk yang indah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dalam menyempurnakan akhlaq. Dan apabila makan atau minum kemudian terpercik ludah keluar dari mulut kita, maka hal itu merupakan kekurangnya sopan santun kita, dan sebab munculnya sikap meremehkan, atau penghinaan. Dan Rasulullah adalah adalah penghulunya seluruh orang-orang yang santun dan pemimpinnya seluruh para pendidik.


Bernafas adalah aktivitas menghirup dan mengeluarkan udara; menghirup udara yang bersih lagi penuh dengan oksigen ke dalam paru-paru sehingga tubuh bisa beraktivitas sebagaimana mestinya; dan menghembuskan nafas adalah udara keluar dari paru-paru yang penuh dengan gas karbon dan sedikit oksigen, serta sebagian sisa-sisa tubuh yang beterbangan di dalam tubuh dan keluar melalui kedua paru-paru dalam bentuk gas. Gas-gas ini dalam persentase yang besar ketika angin dihembuskan, padanya terdapat sejumlah penyakit, seperti pada toksin air kencing ... Maka udara yang dihembuskan mengandung sisa-sisa tubuh yang berbentuk gas dengan sedikit oksigen. Dari hal ini kita mengetahui hikmah yang agung dari larangan Rasulullah; yaitu agar kita tidak bernafas ketika makan atau minum; akan tetapi yang dibenarkan adalah minum sebentar lalu diputus dengan bernafas di luar bejana, lalu minum kembali.


Rasulullah memberikan wejangan tentang awal yang bagus dalam perintahnya tentang memutus minum dengan bernafas sebentar-sebentar. Sebagimana sudah kita ketahui, bahwa seorang yang minum 1 gelas dalam satu kali minuman akan memaksa dirinya untuk menutup/menahan nafasnya hingga ia selesai minum. Yang demikian karena jalur yang dilalui oleh air dan makanan dan jalan yang dilalui oleh udara akan saling bertabrakan, sehingga tidak mungkin seseorang akan bisa makan atau minum sambil bernafas secara bersama-sama. Sehingga tidak bisa tidak, ia harus memutus salah satu dari keduanya. Dan ketika seseorang menutup/menahan nafasnya dalam waktu lama, maka udara di dalam paru-paru akan terblokir, maka ia akan menekan kedua dinding paru-paru, maka membesar dan berkuranglah kelenturannya setahap demi setahap. Dan gejala ini tidak akan terlihat dalam waktu yang singkat. Akan tetapi apabila seseorang membiasakan diri melakukan ini (minum dengan menghabiskan air dalam satu kali tenggakan) maka ia akan banyak sekali meminum air, seperti unta, dimana paru-parunya selalu terbuka.... Maka paru-paru akan menyempitkan nafasnya manakala ia sedikit minum air, maka kedua bibirnya kelu dan kaku, dan demikian juga dengan kukunya. Kemudian, kedua paru-parunya menekan jantung sehingga mengalami dis-fungsi jantung (gagal jantung), kemudian membalik ke hati, maka hati menjadi membesar (membengkak), kemudian sekujur tubuh akan menggembur. Dan Demikianlah keadaannya, sebab kedua paru-paru yang terbuka merupakan penyakit yang berbahaya, sampai para dokter pun menganggapnyaebih berbahaya daripada kanker tenggorokan.


Dan Nabi Shallallahu alaihi wassallam tidak menginginkan seorangpun dari ummatnya sampai menderita penyakit ini. Oleh karena itu, beliau menasihati ummatnya agar meminum air seteguk demi seteguk (antara dua tegukan dijeda dengan nafas), dan meminum air 1 gelas dengan 3 kali tegukan, sebab hal ini lebih memuaskan rasa dahaga dan lebih menyehatkan tubuh


Lihat Al-Haqa'iq Al-Thabiyyah fii Al-Islam, secara ringkas
Sumber: Al-Arba'in Al-Ilmiah, Abdul Hamid Mahmud Thahmaaz


Tuesday, April 14, 2009

Lidah Tak Bertulang (Bag 2)

Untuk itu marilah kita menjaga lidah yang tak bertulang ini dari berbuat dzolim akibat mengatakan aib atas agama seseorang. Karena kita tidak tahu bahwa bisa jadi orang yang kita ghibahi, yang kita rendahkan, lecehkan, ternyata kedudukannya agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak pernah menyangka bahwa ucapan yang terasa sangat ringan ternyata sangat berat di sisi Alloh.
Adapun syariat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang mulia dan rahmatan lil ‘alamin telah mengatur kebaikan sedemikian rupa dalam perkara-perkara yang kita diperbolehkan untuk “berghibah”. Perkara-perkara tersebut diantaranya:
- Mengadukan kedzaliman kepada Pemerintah dan Hakim
- Meminta fatwa
- Meminta tolong untuk merubah kemungkaran atau menghilangkan musibah dari seorang muslim
- Memperingatkan kaum muslimin dan menasehati mereka dari orang-orang jahat dan dari orang-orang yang membahayakan terhadap kaum muslimin (hal ini terutama dalam rangka menjaga hadits Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dari para perawi dan para saksi tercela)
- Musyawarah di dalam urusan pernikahan atau kerjasama atau hidup bertetangga dan semisalnya
- Menyebutkan orang yang terang-terangan melakukan dosa atau kebid’ahan dan tidak menyebutkan aib yang lain kecuali karena keadaan-keadaan tersebut
- Memperkenalkan seseorang jika dia terkenal dengan julukan tertentu

Tetapi hendaklah seseorang berhati-hati dari celah-celah hal-hal yang mubah, jangan sampai syetan mengaburkannya sehingga dia membuka pintu-pintu yang diharamkan lalu lisannya selalu basah dengan ghibah. Jadi perkara yang mubah memiliki ukuran dan batasan, dan harus diiringi dengan niat yang baik karena Alloh tanpa ada tujuan mengobati kemarahan dan bukan juga karena ingin menyebarkan keburukan seseorang. Dan Robb kita mengetahui mata-mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan oleh hati manusia.
Disamping itu kita juga harus yakin terlebih dulu bahwa dibalik ghibah tersebut tidak akan menimbulkan keburukan/mafsadah yang lebih banyak daripada kebaikan/maslahatnya dan tidak akan terjadi fitnah yang akan membahayakan kaum Muslilimin (Hushain bin ‘Audah al-‘Awaisah)

Duhai saudaraku yang kucintai karena Alloh... Kiranya kita telah mengetahui bahaya dari uluran lisan yang membahayakan ini, kiranya juga kita renungkan betapa telah banyak daging-daging saudara kita yang telah kita makan, yang hanya akan menjerumuskan kita ke dalam Neraka jahanam-Na’udzubillah-dan menyebabkan kebangkrutan di akhirat kelak.

Karena Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah tidak ada yang menyebabkan manusia terjungkal di atas wajah-wajah mereka dalam Neraka melainkan akibat dari lisan-lisan mereka?!”(HR At-Tirmidzi).


“Tahukah kalian siapa yang disebut dengan orang yang bangkrut?” Para Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki barang.” Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Dia datang, sementara ia telah mencela si Fulan, telah menuduh si Fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si Fulan, menumpahkan darah si Fulan, dan memukul si Fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si Fulan dan Fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup menebus kesalahan-kesalahannya, maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zhalimi) kemudian dipikulkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke Neraka.” (HR Muslim)


Maka selagi pintu taubat masih terbuka dan pintu amalan belum tertutup, marilah kita kembali kepadaNya yang Maha Mengampuni dosa-dosa.. marilah kita bertaubat dari ghibah dengan syarat-syarat berikut:
a. Berhenti sama sekali dari ghibah,
b. Menyesal dari perbuatan ghibah,
c. Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya kembali untuk selamanya, dan
d. Meminta kepada saudara kita untuk dihalalkan (dimaafkan) atas ghibah yang kita lakukan dan juga memintakan ampunan kepadanya—namun jika khawatir akan menyebabkan mafsadah/keburukan yang lebih besar maka cukuplah dengan kita mendoakan kebaikan baginya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, “Adapun hak orang yang terzhalimi, maka tidak gugur hanya dengan bertaubat…. Barangsiapa yang bertaubat dari kezhaliman, maka tidak gugur hak orang yang terzhalimi dengan taubatnya tersebut. Tetapi merupakan kesempurnaan taubat, hendaklah ia mengganti hak tersebut dengan semisal kezhaliman yang pernah dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia, maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Karena itu wajib bagi orang yang berbuat zhalim yang sudah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik, sehingga apabila orang-orang yang dizhaliminya mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak di Akhirat, sebagai penebus hak-hak mereka), ia masih tidak menjadi orang yang bangkrut (masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian, jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terzhalimi dari sisi-Nya, maka tidak ada yang menolak karunia-Nya. Sebagaimana halnya jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang tingkatannya di bawah kesyirikan bagi siapa saja yang Ia kehendaki….


Wallohul musta’an

“Ya Alloh, lindungilah lisanku dari mengghibah manusia, jagalah mataku dari menonton acara gossip, dan tutuplah telingaku dari mendengar aib saudaraku… Ya Robbi, terimalah taubatku dan selamatkan hamba dari kebangkrutan di Hari Perhitungan. Aamin, ya mujibas saa’iliin.”



Muroji’:
1. Ghibah yang Dibolehkan dalam Islam oleh Hushain bin ‘Audahal-‘Awaisah, Penerbit An-Najiyah
2. Jangan Sembrono Di Dalam Meng-Hajr Saudaramu, Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin,Lc. http/: www.abusalma.wordpress.com
3. Hati-Hati Membicarakan Orang Lain. Bulletin An Nur Th.XI No.510 Jumat II Rajab 1426 H/19 Agustus 2005 M

Lidah Tak Bertulang (Bag 1)

Sepertinya pada zaman seperti sekarang ini membicarakan aib orang lain sudah menjadi kebiasaan bahkan bisa jadi tren yang bukan hanya dirajai para kaum hawa (yang biasa dikenal dengan istilah “nggosip”) tapi juga sudah biasa dilakukan olah kaum adam, dari yang tua, muda, hatta oleh anak-anak yang masih “bau kencur”! Dan bukan hanya marak dilakukan dalam skala rumah tangga, tapi sudah merambah ke skala nasional yang bisa kita saksikan sendiri telah menjamur di stasiun2 televisi yang bahkan mendapat rating tertinggi itu. Sehingga yang jadi korban “kelunakkan” lidah kita bukan lagi orang-orang yang memang kita mengenalnya melainkan orang-orang yang tidak kita kenal secara dalam baik kehidupan sosialnya maupun pribadinya. Astaghfirulloh…. Waiyyadzubillah!

Saudaraku seiman… bisakah kita sejenak membayangkan jika kita yang menjadi korban dimana aib-aib kita diumbar di depan orang lain? Apakah kita akan ridha? Apalagi jika aib kita diketahui oleh orang sebangsa bahkan sedunia?? Apakah kita rela? Apakah kita suka? Lalu bagaimanakah kita juga melakukannya kepada orang lain? Dan tahukah kalian bahwa membicarakan aib orang lain sama saja dengan ghibah?

Nabi Shollallohu’alaihi Wasallam menjelaskan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Radhiallohu’anhu:
“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Alloh dan RosulNya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan)” (HR. Muslim)

Dan bahwasannya ghibah telah Alloh haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitabNya dan melalui lisan RosulNya. Alloh ta’ala berfirman artinya:
“…dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya...” (QS. Al Hujurat: 12)

Dan dari Abu Barzah Al-Aslamy dan Al Barra’ bin Azib keduanya berkata: Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai orang-orang yang menyatakan keimanan dengan lisannya padahal iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengghibahi kaum Muslimin dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka karena barang siapa yang mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka maka Alloh akan mencari-cari kesalahannya dan barang siapa yang Alloh cari-cari kesalahannya maka Dia akan membongkar aibnya walaupun berada di dalam rumahnya yang paling tersembunyi.” (HR. At Tirmidzi)
Masya Alloh.. Wahai Saudaraku, siapa yang tidak jijik memakan bangkai saudaranya sendiri???

Bahkan Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam pernah menegur kedua sahabat beliau yang salah satu diantara keduanya telah mengatakan kepada pelayannya yang belum menyiapkan makanan untuk keduanya karena tertidur dengan berkata, “Sesungguhnya orang ini tidurnya persis seperti tidur kalian di rumah.” Lalu keduanya membangunkan pelayan tersebut dan memerintahkan dia untuk menemui Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan salam serta meminta izin menemui beliau. Namun Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang tersebut, “ Keduanya telah memberi jamuan.”
Maka kedua sahabat beliau terkejut dan bertanya, “Dengan apakah kami telah memberi jamuan?” Lalu beliau menjawab: “Dengan daging saudara kalian, dan demi Yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh saya benar-benar melihat dagingnya dari sisa yang berada di sela-sela gigi taring kalian.” (dan di dalam sebuah riwayat “di sela-sela gigi seri kalian”)

Duhai Saudaraku…Jelaslah bahwa ghibah termasuk dosa besar tapi tipu dayanya begitu tipis, padahal tak jarang kita sendiri tak sadar telah melakukanya. Banyak alasan yang kita lontarkan untuk berkelit, bahwasannya kita mengatakan hal yang benar ada pada diri orang yang kita ghibahi, bahwa kita hanya bercanda mengatai orang tersebut, kita melakukan hal itu semata-mata untuk kebaikan semua pihak, dan juga kita hanya mendengarkan dari Fulan atau stasiun TV…dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya. Tidakkah kisah sahabat Rosululloh di atas belum membuatmu merasa takut untuk beralasan lagi???

Ayuhai memang…lidah tak bertulang! Sehingga sangat ringan kita mengobral lisan kita. Sehingga tak terasa pula kata-kata yang keluar darinya bisa sangat tajam bak samurai bermata dua…!! Maka sudah berapa banyakkah keping-keping hati telah terluka oleh “tebasan” lidah kita??? Wanastaghfirullohal’adzim…
Padahal tahukah engkau wahai Saudaraku, bahwasannya membicarakan aib orang lain juga sama dengan mencoreng kehormatan dan harga diri orang tersebut, dan merusak kehormatan sesama Muslim adalah sangat diharamkan Alloh Azza Wajalla.
Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Bahkan pelanggaran yang terkait dengan kehormatan lebih berat dibandingkan dengan harta! Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Riba memiliki tujuh puluh tingkatan, yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang menggauli ibunya, dan sesungguhnya riba yang paling besar dosanya adalah seseorang mencemarkan kehormatan saudaranya.” (HR. At Thabrani)


Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam juga menambahkan, “Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan dia mengetahuinya, lebih berat di sisi Alloh dibandingkan tiga puluh kali perbuatan zina.” (HR. Ahmad dan At Thabrani)

Imam Asy-Syaukani menafsirkan hadits di atas bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling berat bahkan lebih parah dari maksiat zina (yang lebih dari tiga puluh macam itu!), dan yang lebih dari itu adalah mengulurkan lisan pada kehormatan saudaranya semuslim. Na’udzubillah.
Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan). (HR Abu Dawud)

Al-Baidhawi berkata, “Mengulurkan lisan pada kehormatan seorang muslim yaitu menjelekkannya lebih dari yang seharusnya -membalas lebih dari ucapannya atau lebih dari yang rukhsah yang diberikan. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memisalkannya dengan riba, dan memasukkannya ke dalam bagian riba, lalu menjadikannya sebagai riba yang paling besar. Sebab hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) seseorang -baik menurut syari’at maupun akal- adalah lebih mulia dibandingkan hartanya dan lebih besar bahayanya daripada harta.”

Dan ketahuilah wahai saudara-saudaraku-dan untuk diriku juga-… Jika maksiat yang paling besar adalah riba dan riba yang paling parah adalah ghibah, maka ghibah yang paling berat adalah ghibah yang berkaitan dengan agama seseorang. Karena setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung cacat tubuhnya.” [Imam al-Qurthubi dalam Tafsiir al-Qurthubi (XVI/337)]

(bersambung...)

Thursday, April 2, 2009

Ssstt… Rahasia yah!!?

Pernah ga sih kita punya suatu rahasia yang kita jaga banget dan hanya mau kita bagi oleh satu orang aja? Biasanya setelah kita cerita kita akan bilang “Tolong jangan bilang siapa-siapa yah!?” Lalu ketika teman kita tersebut bertemu temannya yang lain dia tergelitik untuk menceritakan rahasia kita dan tak lupa berpesan “Eh ini rahasia kita berdua yah, jangan bilang ke yang lain!!” Kemudian sang teman tersebut berjumpa dengan temannya lagi dan melakukan hal serupa begitu seterusnya hingga rahasia kita menjadi rahasia umum!!! Kebayang gak sih betapa kecewanya hati kita, apalgi jika rahasia itu mengenai aib diri kita, hatta bukan aib pun rasanya tetap sakit jika kepercayaan kita dikhianati… Hiks, hancurnya hatiku..!! (lho?)

Nah begitu pula sebaliknya, jika kita merasakan sakit dan kecewa jika amanah kita dikhiaati, kita pun tidak boleh melakukan sebaliknya. Terkadang manusia cenderung egois, tidak ingin disakiti tapi senang menyakiti. Walaupun mungkin kita tidak sengaja, karena memang tabiat manusia seperti itu. Apalagi jika asyik mengobrol dengan teman yang “sehati” maka lidah ini akan gatal untuk mengatakan segala apa yang kita dengar, meskipun kadang kita ingat kalau hal itu harus dijaga kerahasiaannya. Tapi ya mau gimana lagi… akhirnya ya ujung-ujungnya pakai “jurus handal” tadi, yaitu dengan mengembel-embeli “jangan bilang-bilang ya”, “tapi ini rahasia ya”, dsb.. dan karena teman kita juga setipe dengan kita akhirnya sebuah rahasia itu lagi-lagi jadi rahasia umum..!
Astaghfirulloh…

Padahal agama Islam yang mulia telah mengatur adab ini dengan sempurna. Menjaga rahasia adalah akhlak yang tersusun dari ketenangan dan menunaikan amanat dengan menyembunyikan rahasia merupakan hal yang terpuji. Sedangkan membocorkan rahasia merupakan sifat khianat dan orang yang mebocorkannya tidak lain adalah orang yang tidak bisa menjaga lisannya. Alloh Subhanahu Wata’ala memerintah kita untuk menjaga janji dan amanat dalam firmanNya pada QS. Al Anfal: 27

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Imam al-Ghozali mengatakan, “Menyebarkan rahasia hukumnya haram karena hal tersebut menyakiti dan merendahkan hak kawan. Membocorkan rahasia termasuk khianat, hukumnya haram bila dengan membocorkannya terdapat bahaya. Bila tidak ada bahayanya, maka tercela.”

Imam Roghib al-Ashfahani mengatakan, “Menyebarkan rahasia termasuk tanda kurang sabar dan kurang lapang dada. Sifat ini tidaklah melekat kecuali pada laki-laki yang lemah, anak kecil, atau wanita.”

Beliau juga mengatakan bahwa rahasia itu ada 2 bentuk, yaitu:
1. Ucapan yang dikatakan seseorang dan dia menyembunyikannya, bias secara jelas semisal dia mengatakan “Rahasiakan apa yang aku katakana kepadamu” atau bias juga berupa perbuatan semisal dia mencari waktu yang tepat kepada orang yang akan diajak bicara, atau dia berbisik dan merendahkan suaranya.
2. Rahasia yang tersimpan dalam dirimu, berupa perkara jelek bila tersebar atau sebuah rencana yang akan engkau kerjakan.

Disamping itu menjaga rahasia juga ada 2 macam:
- Pertama, menjaga rahasia yang terpuji, dan ini termasuk bentuk menunaikan amanat dan menepati janji. Seperti menyembunyikan rahasia orang lain, atau rahasia pribadi dan semua ini adalah inti dari sifat menjaga rahasia.
- Kedua, menyembunyikan rahasia yang tercela, yaitu menyembunyikan persaksian dan menyembunyikan wahyu yang telah alloh turunkan.

Para nabi dan orang sholih telah memberikan teladan kepada kita dalam sifat menjaga rahasia. Terutama qudwah terbaik kita Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi Wasallam, yaitu tatkala perang Khondaq terjadi. Beliau menyembunyikan masuk islamnya Nu’aim bin Mas’ud al-Ghothofani, dan berpesan kepadanya, “Hanya engkaulah satu-satunya orang yang masuk Islam pada saat ini, maka buatlah kekacauan di antara mereka semampumu karena perang penuh dengan tipu muslihat (al-Fushul Fi Siroh ar Rosul)

Teladan lain dapat kita jumpai pada Al Qur’an dan As Sunnah yaitu ketika Nabi Luth merahasiakan kedatangan para malaikat dari kaum dan istrinya (QS. Hud:81); ketika ibunda Nabi Musa menyembunyikan berita tentang Musa karena khawatir akan dibunuh Fir’aun (QS. Al Qoshosh:7); juga ketika Abu Bakar Rodhiallohu’anhu menyembunyikan rahasia Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi Wasallam ketika Umar bin Khothob Rodhiallohu’anhu menawarkan putrinya Hafshoh Rodhiallohu’anha (HR. Bukhori); dan ketika Anas bin Malik Rodhiallohu’anhu menyembunyikan rahasia Rosululloh Shollallohu ‘Alayhi Wasallam kepada ibunya dan ibunya mendukungnya (HR. Muslim).

Karena tidak semua orang bisa menjaga rahasia, maka kita harus berhati-hati dalam menyampaikan rahasia. Hendaknya sebelum kita menceritakan rahasia kepada orang lain ada beberapa hal yang sebaiknya kita perhatikan dari diri orang tersebut, diantaranya adalah:
- Dia memiliki akal yang tajam, sehingga dengannya dapat terjaga rahasia
- Dia memiliki agama yang kuat, sehingga terjaga dari khianat
- Dia orang yang senang dan selalu menasihati, sehingga dapat memberi masukan dan saran saat senang maupun susah
- Dia orang yang penuh kasih sayang dan cinta, sehingga karena rasa cinta dan perhatiannya dapat menjaga rahasia yang diinginkan
- Dia punya sifat menyimpan rahasia. Hal ini dapat diketahui dari pergaulan dengannya, duduk bersamanya, dan praktik kesehariannya.

Eitz…kita juga harus berusaha menjadi pribadi yang sempurna seperti itu donk^_~

Subhanalloh… ternyata dalam hal yang menurut sebagian orang sepele ternyata memiliki hikmah yang dalam. Betapa sebuah adab dalam Islam sangat perlu diperhatikan karena dengannya akan terjaga hak-hak seorang muslim pada khususnya dan hak-hak seluruh makhluk di dunia ini pada umumnya. Dan dengan demikian semakin jelaslah pula bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (Setuju tho???!)

Konon, menjaga harta lebih mudah ketimbang menjaga rahasia. Hal ini karena mengeluarkan harta harus lewat pintu dan gembok dan kunci yang berlapis, sedangkan membocorkan rahasia cukup sekedar dengan lisan yang berbicara. Benarlah kata seorang bijak, bahwa “Sabar dengan menggenggam bara api adalah lebih mudah daripada sabar menyimpan rahasia.” (Adz-Dzari’ah) –Masya Alloh…

Dan cukuplah perkataan para Sahabat sebagai cambuk untuk mengingatkan kita dalam memegang amanah:
* Ali bin Abi Tholib Rodhiallohu’anhu berkata: “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila engkau membocorkannya maka engkau jadi tawanannya.”
* Umar bin Abdul Aziz Rodhiallohu’anhu berkata: “Hati ibarat bejana dan bibir adalah gemboknya, sedangkan lisan adalah kuncinya. Maka hendaknya setiap orang menjaga kunci rahasianya.”

Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai menyimpan rahasia dan semoga kita menjadi orang yang konsisten dalam menjalankan syariatNya. Amin.


Ssstt…artikel ini bukan rahasia yah, silakan sebarkan pada yang lain^_^


Sumber: Majalah AL Furqon Edisi 08 Th. Ke-8 1430/2009